Akhir-akhir ini istilah “Islam Nusantara” gencar digembar-gemborkan oleh sementara pihak di Indonesia. Inti dari gagasan “Islam Nusantara” adalah bahwa Islam yang cocok untuk Indonesia adalah ajaran Islam yang diamalkan di Indonesia yang katanya moderat dan toleran, bukan yang diamalkan di Timur Tengah yang konon penuh perang dan konflik.
Gagasan “Islam Nusantara” itu telah terwujud dalam berbagai bentuknya. Contohnya, pembacaan al-Quran dengan langgam Jawa yang kontroversial, seperti yang terjadi pada saat peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada 15 Mei 2015 yang lalu. Contoh lainnya, penolakan terhadap kewajiban Khilafah. Dalihnya karena Khilafah dianggap ajaran Islam trans-nasional, yang datang dari luar negeri, bukan “Islam-nasional” yang asli pribumi Indonesia. Penolakan terhadap Khilafah ini jelas sikap sangat ekstrem (ghuluw) yang tentu amat tercela dalam agama. Pasalnya, Khilafah sebagai bagian dari ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah sesungguhnya telah disepakati kewajibannya oleh para ulama sejak dulu (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma’, [Beirut: Dar Ibn Hazm], 1998, cet, ke-1, hlm. 207).
Kesalahan Terminologis
Istilah “Islam Nusantara” mengandung kekeliruan dalam 3 (tiga) segi. Pertama: Mengacaukan atau mencampuradukkan aspek normatif-ideal dengan aspek historis-empiris. Aspek normatif-ideal yang dimaksud adalah Islam sebagai wahyu yang tercermin dalam al-Quran dan as-Sunnah. Adapun aspek historis-empiris adalah pengamalan Islam oleh kaum Muslim dalam sejarah atau fakta empiris saat ini.
Islam sebagai norma-ideal tiada lain adalah definisi Islam itu sendiri, yaitu agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (Allah SWT), dengan dirinya sendiri dan dengan manusia lainnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 70).
Islam dalam terminologi syariah tersebut tercermin dalam al-Quran dan as-Sunnah. Hizbut Tahrir dalam kitabnya Miitsaq al-Ummah menyebutkan, “Yatamatstasal al-Islam fi al-Kitab wa as-Sunnah” (Islam itu termanifestasikan dalam al-Quran dan as-Sunnah). (Piagam Umat Islam [Miitsaqul Ummah], Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1995, hlm. 7).
Maka dari itu, yang menjadi representasi Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah, bukan perilaku kaum Muslim. Mencampuradukkan “Islam” dengan “perilaku kaum Muslim” adalah kesalahan terminologis yang fatal. Misalkan di Indonesia banyak pejabat Muslim yang korupsi. Apakah kemudian kita bisa mengatakan bahwa korupsi adalah wujud “Islam Nusantara”? Jelas tidak bisa, bukan? Islam jelas telah mengharamkan korupsi.
Di sini berarti istilah “Islam Nusantara” dengan jelas telah mencampuradukkan dua hal yang berbeda menjadi satu, yaitu Islam yang normatif-ideal dengan aspek historis-empiris berupa pengamalan Islam oleh kaum Muslim. Pencampuradukan itu kontraproduktif karena hanya mengacaukan persepsi dan sangat potensial menimbulkan kesalahpahaman.
Kedua: Istilah “Islam Nusantara” telah mereduksi sifat ajaran Islam yang universal (‘alamiyyah) yang berlaku untuk seluruh umat manusia (Lihat: QS Saba` [34] : 28; QS al-A’raf [7]: 158). Al-Quran dengan jelas menunjukkan bahwa Islam adalah risalah yang bersifat universal, yaitu ditujukan untuk seluruh manusia, bukan untuk manusia tertentu misalnya bangsa Arab saja. (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hlm. 12).
Maka dari itu istilah “Islam Nusantara” sesungguhnya telah mereduksi sifat ajaran Islam yang universal. Padahal mereduksi Islam yang universal itu jelas tidak dapat dibenarkan karena merupakan pengkhianatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya (QS al-Anfal [8]: 27). Upaya tersebut berarti juga telah membuat suatu “agama baru” yang bersifat lokal yang tidak pernah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Karena itu istilah “Islam Nusantara” jelas tidak dibolehkan. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa saja yang melakukan perbuatan apapun yang tidak ada dalam perintah kami (Islam) maka perbuatan itu tertolak (HR Muslim).
Ketiga: istilah “Islam Nusantara” bukanlah istilah orisinal buatan intelektual Muslim Nusantara, namun sekadar latah dan ikut-ikutan (taqlid) kepada kaum intelektual/orientalis yang kafir. Buktinya ada sebuah buku berjudul “The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and The Narration of Sufi Past” (2011) karya Michael Laffan, seorang profesor sejarah di Princeton University, AS. Buku itu jelas menyebut istilah Indonesian Islam (baca: Islam Nusantara). Sangat ironis sekaligus sangat memalukan, istilah “Islam Nusantara” ternyata tidak dicetuskan oleh putra Muslim Nusantara sendiri, tetapi sekadar bertaklid buta kepada intelektual kafir.
Keragaman dalam Islam
“Islam Nusantara” sering dipropagandakan dengan bermacam argumen yang terkait dengan keragaman. Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) argument. Pertama: “Islam Nusantara” lahir karena ada pemahaman beragama yang unik dalam masyarakat Indonesia, yaitu menganut paham Asy’ari dalam hal akidah, menganut mazhab Syafii dalam fikih dan menganut paham Imam Al-Ghazali dalam tasawuf.
Kedua: “Islam Nusantara” diperlukan sebagai upaya penafsiran ulang terhadap fikih khas masyarakat Indonesia, yang berbeda dengan masyarakat Arab.
Ketiga: “Islam Nusantara” dilahirkan sebagai alternatif Islam yang damai, yang beda dengan Islam di Timur Tengah yang sarat konflik dan perang.
- Pemahaman beragama khas Nusantara?
Salah satu alasan munculnya “Islam Nusantara” itu adalah karena adanya keragaman pemahaman terhadap Islam. Salah satunya adalah pemahaman unik masyarakat Indonesia dalam hal akidah, fikih, dan tasawuf. Azyumardi Azra, bekas Rektor UIN Jakarta 1998-2006, pernah merumuskan, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif [unik, red] sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi [pribumisasi, red] dan vernakularisasi [penyesuaian dengan bahasa daerah, red.] Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran…” (Azyumardi Azra, Islam Nusantara adalah Kita, www.fah.uinjkt.ac.id).
Fakta yang ditulis Azyumardi Azra, yaitu pemahaman masyarakat Indonesia yang mengikuti ilmu kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali sesungguhnya tidak bermasalah dalam tinjauan Islam. Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, meskipun mengkritik metode pembahasan mutakallimin, termasuk metode Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau mengatakan, “Pembahasan para mutakallimin, adalah pembahasan-pembahasan yang islami, dan pendapat-pendapat para ahli ilmu kalam, walaupun ada perbedaaan dan bertentangan di antaranya, dianggap sebagai pendapat yang islami.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 1/127).
Mengenai eksistensi mazhab-mazhab fikih, termasuk mazhab Imam Syafii radhiyalLahu ‘anhu, dalam pandangan Imam Taqiyuddin an-Nabhani, adalah fenomena positif yang justru membuktikan kejayaan fikih Islam. Beliau berkata, “Dari perbedaan dalam metode istinbath hukum ini, lahirlah mazhab-mazhab fikih yang bermacam-macam yang membawa pertumbuhan kekayaan khazanah fikih, yang menjadikan fikih sangat gemilang.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 1/385).
Secara khusus, beliau memberi apresiasi pada metode istinbath (ushul fikh) Imam Syafii, yang beliau nilai jauh dari semangat fanatisme atau pembelaan terhadap mazhabnya, tetapi murni untuk menetapkan metode istinbath bagi para mujtahid (Ibid, 1/359).
Mengenai tasawuf Imam al-Ghazali, misalnya yang terdapat dalam kitabnya Ihya‘ Ulum ad-Din atau Al-Munqidz min adh-Dhalal, secara garis besar masih dapat digolongkan ke dalam pemikiran islami (ra’yu islami). Kendati demikian, berbagai kritikan terhadap kemurnian pendapat-pendapat Imam Ghazali dalam tasawuf tetap patut untuk diperhatikan. (Samih ‘Athif Az Zain, Ash-Shufiyah fi Nazhar al-Islam, 1985, Beirut: Darul Kitab Al Lubnani, cet. ke-3, hlm. 380-441; Imam Iraqi, as-Subki, az-Zubaidi, Takhrij Ahadits Ihya‘ Ulum ad-Din, Riyadh: Darul ‘Ashimah, cet. ke-1, 1987).
Namun, yang menjadi pertanyaan kritis, apakah rumusan paham beragama ilmu kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali masih relevan dengan kondisi kontemporer Indonesia? Bukankah negara-bangsa dalam sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis saat ini sama sekali tidak merujuk dan tidak ada hubungannya dengan ilmu kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii, dan tasawuf Ghazali? Negara-bangsa dengan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis saat ini, rujukannya adalah Ernest Renan, John Lock, Montesquieu, Adam Smith, dan pemikir Barat era Renaissance (Aufklarung) yang semacamnya, bukan merujuk lagi pada kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii, dan tasawuf Ghazali.
Maka dari itu, jelas suatu intelectual fraud (kelicikan intelektual) yang gegabah kalau negara-bangsa dalam sistem demokrasi dan kapitalisme saat ini diberi legitimasi atas nama ilmu kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii dan tasawuf al-Ghazali.
- Penafsiran Ulang Fikih?
Komarudin Hidayat, juga bekas Rektor UIN Jakarta, dalam tulisannya berjudul “Islam Nusantara”, mengatakan perlu tafsir ulang terhadap fikih. Pasalnya, menurut dia, masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Arab. Kalau orang Arab, katanya, hidup dalam masyarakat padang pasir, penuh suasana konflik dan perang. Adapun masyarakat Indonesia hidup damai dalam masyarakat agraris dan maritim.
Perbedaan tersebut memerlukan tafsir ulang terhadap fikih. Di beberapa daerah Nusantara, kata Komarudin Hidayat, para wanitanya sudah biasa aktif bertani. Mereka sulit disuruh mengganti pakaian adatnya dengan pakaian model wanita Arab. Ini disebut Komarudin Hidayat sebagai “Pribumisasi Islam”; yakni perlunya tafsir ulang berdasarkan waktu, tempat dan kebutuhan zaman. Bukannya ajaran dasar Islam yang diubah, kata Komarudin Hidayat, melainkan metode yang disertai kontekstualisasi tafsirnya sesuai dengan budaya Nusantara sebagai masyarakat maritim dan agraris. (Komarudin Hidayat, “Islam Nusantara”, Sindonews.com, 10/5/2015).
Ide Komarudin Hidayat ini penuh kerancuan. Komarudin Hidayat tidak mampu membedakan ajaran Islam yang tidak dapat diubah (tsawabit/thariqah) dan mana yang dapat diubah (mutaghayyirat/ al-uslub wal-wasilah). Contohnya, naik haji itu wajib. Ini tak dapat diubah, karena ada nash-nya. Namun, sarana transportasi untuk naik haji, apakah naik kapal, pesawat, dll, dapat diubah, karena tidak ada nash-nya.
Komarudin Hidayat tidak mampu membedakan dua hal tersebut. Akibatnya, secara gegabah dan dangkal ia menganggap busana Muslimah (jilbab/gamis dan khimar/kerudung) sebagai busana “model Arab” yang bisa diganti seenaknya. Komarudin Hidayat pura-pura tidak tahu ada nash yang mewajibkan jilbab (QS al-Ahzab [33]:59) dan khimar (QS an-Nur [24]:31).
Komarudin Hidayat juga gagal memahami metodologi fikih (ushul fiqh), yang mengharuskan sumber hukumnya berupa wahyu (al-Quran dan as-Sunnah), bukan berupa realitas. Realitas bukanlah sumber hukum Islam, tetapi justru objek yang harus ditundukkan dengan hukum Islam. Komarudin Hidayat berpikir sebaliknya, kalau hukum Islam tidak sesuai realitas, maka hukum Islam itu yang harus menyesuaikan dengan realitas. Jelas ini cara berpikir yang sangat naif dan absurd.
- Nusantara damai, beda dengan Timur Tengah?
“Islam Nusantara” sering dipromosikan dengan menyebut Indonesia yang damai, ramah, penuh senyum. Ini katanya beda dengan “Islam Arab” di Timur Tengah yang konon penuh perang dan konflik seperti kondisi di Libya, Mesir, Suriah, Irak, Yaman, dan sebagainya. Sering “Islam Nusantara” yang damai itu dikaitkan dengan dakwah Walisongo yang dilakukan secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan.
Padahal sesungguhnya konflik yang terjadi di Timur Tengah bukanlah akibat dari penerapan Islam, tetapi akibat para diktator yang berkuasa dengan tangan besi yang mendapat dukungan Barat. Contohnya Jenderal al-Sisi di Mesir serta Basyar Asaad di Suriah yang otoriter dan biadab yang didukung oleh AS. Jadi, menyebut kondisi konflik Timur Tengah sebagai “Islam Arab” adalah suatu tudingan yang ngawur dan tak sesuai fakta.
Penutup
Alhasil, dari seluruh uraian di atas, apa yang digembar-gemborkan sebagai “Islam Nusan-tara” sesungguhnya tidak mempunyai argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, baik argumen syar’i (normatif) maupun argumen historis-empiris. Argumen yang ada hanyalah sekumpulan argumen palsu dan absurd, yang tujuan akhirnya adalah melestarikan sistem demokrasi-sekular saat ini, serta menghan-curkan perjuangan suci untuk mengembalikan syariah Islam dalam bingkai negara Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]