Sebagai agenda tambahan dari acara Konferensi Internasional bertajuk Islamic Law in Modern Indonesia yang diselenggarakan oleh Harvard Law School, Cambridge, AS beberapa waktu lalu, Prof Nur Yalman – Professor di Asian Studies, Harvard University, mengundang Jubir HTI, juga Ulil Abshar Abdala dan Prof. Azyumardi Azra untuk berdiskusi di kelas Asian Studies yang diasuhnya. Pada sesi diskusi usai presentasi mengenai Hizbut Tahrir, ada seorang mahasiswa bertanya kepada Jubir HTI begini, “Dalam respon terhadap invasi AS ke Irak, tampaknya Hizbut Tahrir sama dengan kelompok Islam Liberal. Sama-sama melakukan aksi demo menolak invasi itu. Kalau begitu, apa sesungguhnya yang membedakan Hizbut Tahrir dengan Islam Liberal?”
++++
Pertanyaan serupa diajukan oleh wartawan koran Media Indonesia yang mewawancarai Jubir HTI beberapa hari setelah aksi besar HTI, “Bersihkan Indonesia Dari Sistem dan Rezim Korup,” pada hari Ahad 6 Desember 2009 lalu di Bundaran HI, Jakarta. Wartawan ini malah bertanya lebih dalam lagi, “Apakah telah ada pergesaran arah perjuangan HTI dari yang sebelumnya banyak merespon masalah-masalah di Dunia Islam menjadi lebih banyak menyorot masalah domestik? Kalau HTI merespon masalah domestik, seperti kasus Bank Century, apa bedanya dengan kelompok lain; juga apa relevansinya dengan ide syariah dan Khilafah yang selama ini diusung oleh HTI?”
Memang, selama ini telah terjadi stereotyping di tengah masyarakat, juga di kalangan pergerakan Islam, bahwa seolah-olah yang disebut persoalan umat adalah hal-hal di seputar masalah pornografi-pornoaksi, judi, miras, pelacuran atau aliran sesat seperti kelompok Ahmadiyah dan masalah-masalah di Dunia Islam seperti soal Palestina dan Masjidil Aqsha, krisis di Irak dan Afganistan serta kartun Nabi. Di luar itu, seperti masalah korupsi, kenaikan harga BBM dan lainnya, seolah dianggap bukan masalah umat, dan karenanya kelompok Islam tidak terlihat memberikan respon.
Dijelaskan bahwa dalam pandangan Hizbut Tahrir yang disebut persoalan umat adalah setiap bentuk kemungkaran atau penyimpangan dari ajaran Islam, baik dalam lapangan ekonomi, politik, sosial-budaya maupun di lapangan pemikiran ideologis dan filosofis, yang terjadi di dalam maupun di luar negeri. Apalagi bila nyata-nyata hal itu mencederai kemuliaan ajaran Islam dan kehormatan umat Islam.
Kemiskinan, ketidakadilan, mafia peradilan, korupsi, kerusakan lingkungan, liberalisme di bidang ekonomi, politik dan budaya, sebagaimana juga pemurtadan, penjajahan dan kerusakan moral adalah juga masalah umat. Tentu menjadi kewajiban Hizbut Tahrir untuk memberikan respon baik secara lisan, tulisan maupun tindakan.
Sepanjang aktivitasnya, sesungguhnya Hizbut Tahrir Indonesia telah terbukti bukan hanya memberikan respon pada persoalan yang berdimensi internasional, tapi juga nasional atau domestik. Bahkan bila dibandingkan dengan yang berdimensi internasional, respon HTI sebenarnya jauh lebih banyak diberikan pada persoalan-persoalan umat yang berdimensi nasional. Ditunjukkan kepada wartawan itu oleh Jubir HTI tema-tema yang diangkat dalam buletin Jumat Al-Islam, tabloid dwimingguan Media Umat atau jurnal bulanan al-Waie yang lebih banyak merespon soal-soal yang terjadi di dalam negeri.
Jadi, tidak ada itu yang disebut pergeseran arah perjuangan. Bila selama ini tampak HTI lebih banyak merespon persoalan-persoalan internasional, itu hanyalah kesan yang ditimbulkan oleh pemberitaan media massa yang memang hanya meliput kegiatan HTI yang bersifat aksi massa, bukan lainnya seperti seminar, diskusi atau tablig akbar yang dinilai tidak bernilai berita (news). Jadilah orang menilai bahwa seolah HTI lebih responsif terhadap persoalan luar negeri daripada dalam negeri.
Oleh karena itu, merespon kasus Skandal Bank Century, sebagaimana merespon kebijakan kenaikan BBM dan soal-soal serupa lainnya, bagi HTI bukanlah hal istimewa. Itu merupakan kemungkaran yang harus mendapatkan tanggapan. Kalau begitu, lantas apa beda HTI dengan kelompok lain?
Perbedaan utamanya terletak pada solusi yang diajukan. Hizbut Tahrir selalu memandang semua masalah dari kacamata ajaran Islam dan dalam konteks kepentingan umat. Solusi yang ditawarkan juga didasarkan pada ajaran Islam. Dalam kasus Skandal Bank Century, misalnya, HTI menilai ini adalah sebuah state-corruption (korupsi negara); korupsi justru dilakukan oleh pejabat negara dengan memanfaatkan instrumen lembaga negara (BI dan KSSK) dan peraturan yang ada. Ini adalah jenis korupsi yang paling jahat karena kerugian negara pasti sangat besar dan seolah tampak absah karena berlindung di balik peraturan perundangan.
Dalam paradigma ekonomi, HTI menilai pemberian bail-out itu merupakan resep ala Washington Consensus, yang menjadi rumus standar bagi IMF dalam menyelesaikan permasalahan modal swasta, yaitu negara harus menanggung beban pembiayaan dan permodalan bagi sektor swasta yang bangkrut. Tentu pembiayaan ini pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui pembayaran pajak seperti yang selama ini terjadi untuk menutupi bunga obligasi rekap perbankan akibat krisis moneter 1997/1998.
Skandal Bank Century adalah bukti ke sekian kali dari rapuhnya sistem perbankan yang berbasis ribawi dan birokrat yang berjiwa korup. Oleh karena itu, bagi HTI, skandal Bank Century ini semestinya menjadi momentum untuk semakin meneguhkan keyakinan masyarakat akan kebobrokan sistem perbankan dan keuangan ribawi khususnya dan sistem ekonomi kapitalistik pada umumnya. Sebagai gantinya, HTI mendorong masyarakat untuk menuntut tegaknya sistem ekonomi yang adil, yang bersumber dari Zat Yang Mahaadil. Itulah sistem ekonomi syariah. Di sinilah letak relevansi aksi protes Skandal Bank Century dengan ide syariah yang selama ini diusung HTI. Di situ pula bisa dijelaskan mengapa HTI merasa perlu untuk melakukan aksi mandiri. Tujuannya tidak lain agar solusi yang dimajukan bisa didengar oleh khalayak. Jadi, bukan soal eksklusivisme, apalagi hanya sekadar memburu eksistensi.
Kadang masyarakat cepat memahami solusi syariah yang diajukan oleh HTI, tetapi kadang pula justru mengundang tanya. Ketika melihat HTI melakukan protes terhadap kebijakan Pemerintah menaikkan BBM beberapa waktu lalu dan mengusulkan pengelolaan berdasarkan syariah, misalnya, ada seorang tokoh ekonomi syariah terkemuka bertanya, “Emang ada BBM syariah?” Pertanyaan ini membuktikan kebenaran sinyalemen di atas tentang adanya stereotyping. Hal itu ternyata terjadi bukan hanya di kalangan masyarakat awam, bahkan juga di kalangan cerdik pandainya.
++++
Begitulah pula kurang lebih yang dijelaskan Jubir HTI kepada para mahasiswa yang datang dari berbagai negara di kelas Asian Studies, Harvard University. Bahwa respon terhadap berbagai persoalan aktual antara HT dan kelompok lain boleh sama, tetapi solusi yang ditawarkan pasti berbeda karena sesungguhnya kacamata paradigmatis yang digunakan untuk menilai sebuah peristiwa juga berbeda.
Ketika merespon invasi AS ke Irak, kelompok Islam Liberal mengusulkan peningkatan peran PBB. Adapun HTI menyerukan persatuan negeri-negeri Muslim dan pengiriman pasukan jihad ke sana untuk melawan pasukan agresor sambil menekankan pentingnya tegaknya kembali Khilafah karena inilah satu-satunya institusi yang mampu melindungi kehormatan negeri-negeri Muslim, termasuk Irak dari tindak kezaliman yang dilakukan oleh kekuatan angkara murka; bukan berharap pada PBB karena lembagai dunia ini selama ini justru telah terbukti hanya dijadikan alat untuk mengabsahkan penjajahan yang dilakukan oleh negara besar. Allâhu a’lam bi ash-shawab. []
cerdas sekali…..