(Potret Suram Pendidikan Akibat Liberalisasi)
DR. Yasir Ibrahim -LS DPP HTI
Pendahuluan
Berbagai model penerimaan mahasiswa baru di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, terutama yang dulu berstatus badan hukum milik negara (BHMN), berubah menjadi BLU (Badan Layanan Umum) hampir sama cuma membedakan tata kelola keuangan separuh disetor ke pemerintah masuk kas negara dan separuh masuk ke kas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dengan BLU ini tetap biaya mahal sehingga keluhan berbagai kalangan lantaran sudah memberatkan mahasiswa karena biayanya sangat tinggi. Beragam nama pun muncul, mulai dari jalur umum, jalur khusus, jalur prestasi, jalur alih jenjang, dan sejumlah nama lainnya. Pada jalur umum saja dikabarkan biaya masuk bisa mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP) yang bervariasi. Bahkan tarif yang cukup mahal juga berlaku bagi calon mahasiswa yang menempuh jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Apalagi jalur khusus, yang biasa disebut “jalur tol”, mungkin biaya itu bisa lebih mahal lagi. Mahalnya biaya masuk dan kuliah di PTN dipandang beberapa pengelola perguruan tinggi sebagai upaya “subsidi silang” antara mahasiswa kaya dan miskin. Salah satu PTN yang dulu masuk BHMN menyebut biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun, sedangkan dana dari pemerintah hanya sekitar Rp 300 miliar. Kekurangannya, antara lain, ditutupi dari mahasiswa yang menempuh “jalur khusus” ini.
Ada yang menarik dalam sebuah petikan dialog antara sang Ibu dengan anaknya: “Ah, saya lulus sekolah mau kerja aja, bu”, celetuk beberapa murid kelas XII SMUN ketika mendapat penjelasan mengenai penutupan jalur mandiri penerimaan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan dan SNMPTN ujian tulis tahun akademik 2011/2012.
Jawaban yang mungkin membuat kita terperangah heran. Tapi menelisik alasan mereka yang mengatakan tidak adanya biaya untuk kuliah mungkin membuat kita mafhum, walau sulit. Mengapa memilih SMUN apabila tidak bertujuan meneruskan sekolah ? Bukankah sebaiknya mereka memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ? Mungkinkah iklan layanan masyarakat mengenai SMK tidak cukup mengedukasi ? Atau mungkin mereka masih menaruh asa untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ? Mengingat mereka adalah siswa berpotensi, tapi kondisi keuangan orang tua tidak memungkinkan.
Problematika SNMPT PTN di Indonesia
Penyelenggaraan SNMPT tahun 2011 mengalami kenaikan peserta, Menurut Prof Djoko Santoso Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Sebanyak 118.233 peserta dari 540.953 peserta ujian tulis dan ujian keterampilan pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011 dinyatakan lulus. Dari sebanyak 118.233 peserta SNMPTN yang diterima terdiri atas 56.856 peserta kelompok IPA dan 61.377 kelompok IPS. Jumlah pendaftar pada tahun ini meningkat dibandingkan tahun lalu 447.201 peserta. Ada kenaikan pendaftar sebanyak 20,96 persen. Jumlah total yang diterima meningkat dibandingkan tahun lalu yakni 92.511 peserta. Adapun daya tampung juga meningkat dari 96.684 kursi pada tahun lalu menjadi 119.041 kursi pada tahun ini. Untuk tahun ini terdapat sebanyak 808 bangku kosong. Jumlah ini menurun drastis dibandingkan tahun lalu sebanyak 4.173 kursi kosong.(http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/06/28/56194/Ada-118.233-Peserta-Lulus-Ujian-Tulis-SNMPTN-2011).
Adanya kenaikan peserta SNMPT berarti kuantitas biaya pendidikan di PTN semakin besar untuk pemasukan kas Negara. Semakin lama biaya pendidikan di Indonesia makin tak berperikemanusiaan. Biaya kuliah di luar negeri tak jarang bisa lebih murah dibanding PTN dalam negeri. Jadi, jangan salahkan bila anak-anak muda terbaik Indonesia memilih sekolah di luar negeri. Kuliah di Indonesia betul-betul menyedihkan. Apalagi sekarang, modal pintar pun tak menjamin seseorang bisa kuliah di PTN lantaran biaya yang tak lagi murah. PTN tak jarang memasang tarif lebih mahal ketimbang perguruan tinggi swasta (PTS). Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki lebih dari 220 juta penduduk, namun hanya memiliki tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekitar 14 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun. Persentase tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga yang dikenal menganggarkan dana pendidikan cukup besar, seperti Malaysia dan Filipina. Di kedua negara ini partisipasi pendidikan tinggi sudah mencapai 38-40 persen. Pendidikan bermutu memang membutuhkan biaya besar. Selama ini, perguruan tinggi di Indonesia kalah saing dengan yang di luar negeri. Sejak 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income besar dari sektor jasa. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105). Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun. Di Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan bahwa pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Negeri Kanguru tersebut. Sebuah survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Kapitalisasi yang merupakan pesanan para kapitalis tidak hanya menimpa dunia pendidikan. Patut disadari bahwa kebijakan global ini juga menimpa sektor ekonomi, politik, sosial, dan sektor lainnya yang akan mengebiri peran dan fungsi negara sebatas pelegalisasian kebijakan. Padahal, fungsi negara adalah mengurusi urusan rakyat, yaitu terpenuhinya segala kebutuhan rakyat. Kita dapat melihat bahwa sebuah sistem tidak dapat berdiri sendiri. Masalah pendidikan tidak hanya masalah pada sistem pendidikan semata. Namun, permasalahan ini juga terkait dengan ekonomi, hukum, dan lainnya yang menyangkut sistem pemerintahan sekarang ini yang cenderung kapitalistik. Dengan paradigma sistem kapitalistik maka masuk akal jika segala sesuatu dinilai dari materi. Jadi, kalau mau pendidikan bagus otomatis harus dengan biaya tinggi. Dengan paradigma sekarang, pemerintahan hanya berharap pemasukan untuk kas negara dari sektor pajak termasuk bidang pendidikan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66/2010, pemerintah (Kemendiknas) dengan tegas menentukan 60 persen kuota mahasiswa baru PTN dilakukan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMTPN). Sisa 40 persen merupakan jalur masuk yang berbasis uang (menuntut calon mahasiswa untuk mengeluarkan dana lebih untuk masuk ke suatu PTN) dan diadakan setelah SNMPTN berakhir, khususnya di tahun 2011 ini. Jalur masuk berbasis uang ini memiliki banyak nama, mulai dari Ujian Mandiri (UM), Ujian Masuk Bersama (UMB), Seleksi Masuk (SIMAK), dan yang terakhir, mungkin bisa diperdebatkan dalam artikel ini, adalah Jalur Undangan. Khusus Jalur Undangan ini merupakan program seleksi dua tahap (undangan dan tertulis) dengan jumlah peserta seleksi jalur undangan yang dinyatakan lolos dan diterima di PTN seluruh Indonesia sebanyak 46.706 peserta atau 20 persen dari semua pendaftar atau peserta seleksi yang mencapai 232.948 orang di tahun 2011. Anehnya, jalur undangan ini diadakan sebelum jalur SNMPTN. Tentu hal ini bertentangan dengan keputusan Kemendiknas yang melarang jalur masuk berbasis uang diadakan sebelum SNMPTN.
Namun benarkah Jalur Undangan ini berbasis uang? Mari kita telaah lebih lanjut. Seperti yang telah diutarakan di atas, Jalur Undangan ini merupakan program seleksi dua tahap (undangan dan tertulis). Setelah calon mahasiswa yang berprestasi secara akademik (dilihat dari nilai rapor) diundang, mereka wajib mengikuti ujian tertulis.
Ada fakta mengukuhkan biaya yang relatif mahal perihal Jalur Undangan seperti dalam kutipan berikut ini :
Bagaimana dengan biaya? tidak bisa dinafikan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri memang mahal. Institut Teknologi Bandung memperkirakan pembiayaan sekitar Rp 27 juta/mahasiswa/tahun atau sebesar Rp 108 juta apabila mahasiswa mampu menyelesaikan pendidikan dalam 4 tahun. Jumlah tersebut sudah termasuk BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar diMuka) sebesar Rp 55 juta dan Rp 80 juta khusus SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen).(www.Kompasiana.com)
Berbeda dengan ITB yang menutup jalur mandiri, Universitas Indonesia sedari awal memang tidak membuka jalur mandiri. Tetapi menyelenggarakan SIMAK UI yang tahun ini akan dimulai 3- 24 Juni 2011. UI mengklaim biaya pendidikannya lebih berazaskan keadilan. Komponen biaya pendidikan S1 Reguler terdiri dari Biaya Operasional Pendidikan sebesar RP 100 ribu hingga maksimal Rp 5 juta (Prodi IPS) dan Rp 7,5 juta (Prodi IPA). Biaya lainnya yaitu Uang Pangkal yang besarannya nol rupiah, Rp 5 juta, Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (tergantung fakultasnya, termasuk disini fakultas kedokteran). Bagi mahasiswa yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan cicilan atau pengurangan uang pangkal. (www.Kompasiana.com)
Pembanding lain adalah UNPAD yang menyelenggarakan SMUP UNPAD dan mensyaratkan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan sebesar Rp 2 juta ditambah Dana Pengembangan yang jumlahnya bervariasi antara Rp 12 juta (sastra daerah, sastra Perancis), Rp 57 juta (Ekonomi Akutansi berbahasa Inggris) hingga Rp 177 juta (Kedokteran). (www.Kompasiana.com)
Bagaimana dengan Universitas Gajah Mada (UGM)? UGM menyelenggarakan Penelusuran Bakat Swadana (PBS). UGM mematok Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) terendah Rp 10 juta (Filsafat), Rp 50 juta ( Ekonomi Akutansi /Ekonomi Manajemen) hingga Rp 100 juta (Kedokteran). (www.Kompasiana.com)
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa, selain biaya iuran kuliah, ada semacam biaya “sumbangan” yang cukup besar yang harus dibayarkan calon mahasiswa dan biaya “sumbangan” terbesar, selain kedokteran, terdapat pada program Jurusan Manajemen (Ekonomi/Akutansi). Program Jurusan Manajemen ini yang notabene banyak peminatnya, tampaknya merupakan pundi-pundi emas bagi PTN tersebut di atas. Ketika idealisme PTN telah berubah haluan menjadi bisnis semata, lalu apakah yang membedakan antara PTN dengan PTS? Patutkah kita menyimpulkan bahwa Jalur Undangan merupakan Jalur Mandiri yang berganti “kulit” hanya untuk menghindari ketetapan Kemendiknas yang melarang jalur berbasis uang tersebut diadakan sebelum SNMPTN?
Apabila pemerintah kita mau jauh-jauh datang ke India untuk studi banding (atau mungkin sudah?), tentu mereka akan mengetahui bahwa PTN di India memang ditujukan ke masyarakat India dari kalangan ekonomi lemah yang ingin menimba ilmu. Sebaliknya, PTS, dengan segala fasilitas dan kemudahannya, ditujukan bagi masyarakat India dari kalangan ekonomi mampu. Fasilitas dan kemudahan tersebut tentu diiringi dengan biaya yang tidak sedikit pula. Hebatnya, mereka yang mampu merasa enggan untuk kuliah di PTN sehingga tidak berebut kursi dengan mereka yang tidak mampu secara ekonomi. Tapi apakah PTN di India lebih baik dari PTS? Tentu tidak! PTN disini merupakan perguruan tinggi yang bersubsidi. Titik.
PTN di Indonesia pun tidak seharusnya menggarap pangsa pasar untuk program S1. Stated-Owned Universities di Amerika umumnya tidak menggarap program-program undergraduate (S1) karena PTN tersebut telah terfokus ke arah penelitian (research–based university) sehingga hanya menggarap utnuk program pascasarjana (S2) dan doktorat (S3) saja. PTN Amerika tidak lagi memikirkan untuk berkompetisi dengan PTN dan PTS lokal, tetapi sudah berorientasi menuju world class university. Sedangkan, program S1 dan sederajat umumnya dikelola oleh PTS dan terkadang dikenal dengan nama college. Beberapa college bisa berada di bawah naungan satu PTN. Bagaimana dengan PTN di Indonesia? Tidak hanya menggarap program S1 tetapi juga program D3. Bahkan calon mahasiswa yang fanatik PTN tidak masalah diterima di D3 dan berharap untuk lanjut S1 (ekstensi) setelah lulus D3 di PTN tersebut. Toh mereka hanya perlu menambah 1 tahun saja. Lalu kapan PTN-PTN Indonesia bisa segera fokus menjadi perguruan tinggi kelas dunia?
Tentulah kondisi pendidikan tinggi yang carut marut di Indonesia ini akan menghancurkan mental mereka-mereka yang berharap dapat mengenyam pendidikan berkualitas di PTN-PTN top dan orang tua-orang tua calon mahasiswa saat ini akan jauh lebih realistis (tidak PTN-minded seperti tempo dulu) dan pada akhirnya akan memilih PTS-PTS yang juga tidak kalah kualitasnya.
Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta.Tingginya biaya tersebut semakin memperkecil akses masuk ke PT.(www.kompas.com,12/05/2008). Demikian benang merah persoalan menyangkut biaya masuk perguruan tinggi negeri yang didapatkan Kompas dalam pencarian selama sepekan terakhir, mulai dari Jakarta (DKI Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Bandung (Jawa Barat), Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), hingga Makassar (Sulawesi Selatan). Besar biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tersebut bergantung pada program S-1 yang diambil serta bidang ilmu yang dipilih. Program tersebut beragam dan berbeda antara satu PTN dan PTN lain. Bahkan, ada PTN yang membuka program internasional. Pada program ini, mahasiswa membayar biaya berlipat-lipat dibandingkan program reguler pada setiap semesternya. Bagi para calon mahasiswa yang gagal masuk melalui program S-1 reguler lewat seleksi nasional masuk PTN (SNMPTN), hampir semua PTN yang dihubungi memiliki program non-SNMPTN. Biaya masuk program non-SNMPTN ini lebih tinggi dibandingkan jalur SNMPTN. Program non-SNMPTN ini pun berbeda antara satu PTN dan PTN lain-ada yang memiliki lebih dari lima program. Semua angka tersebut bisa kita bandingkan dengan biaya kuliah di National University of Singapore yang biayanya (tuition fee) berkisar 9.540 dollar Singapura hingga 27.350 dollar Singapura atau di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia, yang memasang biaya 1.167 ringgit Malaysia hingga 1.500 ringgit Malaysia.
Untuk kelas internasional dari sejumlah program seleksi penerimaan mahasiswa baru, yang termahal adalah jalur internasional. Universitas Indonesia pada tahun ini menerapkan jalur tersebut. Rektor Universitas Indonesia Prof Gumilar Rusliwa Somantri menjelaskan, selain program S-1 reguler, pihaknya membuka kelas internasional untuk Fakultas Kedokteran, Teknik, Ekonomi, Psikologi, dan Ilmu Komputer bekerjasama dengan Universitas Queensland, Australia, untuk program double degree dan penggunaan tenaga pengajar asing.Biaya kuliah per semester tiga kali lipat program S-1 reguler. Untuk Kedokteran, uang pangkal (biaya masuk) Rp 70 juta, dengan biaya per semester Rp 35 juta. Fakultas Teknik uang per semester Rp 20 juta, uang pangkal Rp 15 juta, sedangkan Ekonomi uang pangkal Rp 26 juta dan Rp 25 juta per semester.
Sementara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, jalur non-SNMPTN at ada dua, yaitu penelusuran bibit unggul sekolah (PBUS) dan penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Mereka yang gagal di PMDK bisa menggunakan program PBUS dengan u dikenal jalur untuk orag kaya syarat sama, nilai rapor SMA semester I-V rata-rata 7,0 dan tak ada nilai di bawah 5,0. Sumbangan pembinaan pendidikan dari program-program itu sama, yaitu Rp 660.000 per semester. Namun, bagi PBUS masih ditambah biaya pengembangan institusi (BPI), untuk Fakultas Kedokteran Rp 100 juta, tetapi hanya Rp 2,5 juta bagi yang lewat PMDK. Untuk jurusan lain, BPI rata-rata di bawah Rp 10 juta. Sementara itu, di Institut Teknologi 10 Nopember Budi Santosa, ada 5 kategori PMDK, di antaranya PMDK beasiswa. Mereka yang lolos PMDK beasiswa bebas uang gedung dan SPP. Mereka adalah pelajar dengan nilai akademis menonjol. Sementara di Universitas Airlangga ada empat jalur PMDK (umum, prestasi, alih jenjang, dan diploma). Dari wilayah timur Indonesia, Universitas Hasanuddin membuka tiga jalur non-SNMPTN, yaitu jalur nonsubsidi (JNS), jalur penelusuran potensi belajar, dan jalur prestasi olahraga, seni, dan keilmuan. Yang termahal adalah JNS. Pada jalur ini mahasiswa membayar rata-rata uang kuliah Rp 20 juta setahun, sedangkan dari jalur SNMPTN rata-rata hanya Rp 1,5 juta setahun. Kepala Humas Unhas Dahlan Abubakar mengatakan, dana tersebut untuk subsidi silang.(Kompas,./2008/05/12).
Dengan fakta di atas bahwa pemerintah mengurangi beban tanggung jawab di bidang pendidikan. Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya-bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya-dalam pembiayaan pendidikan? Pertama: karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah.
Agenda utama ekonomi Kapitalisme global adalah menguasai (baca: menjajah) negara-negara Dunia Ketiga yang notabene adalah negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Hilangnya peran negara dalam pendidikan ini tidak terlepas dari agenda Kapitalisme global. Dampak buruknya antara lain adalah: Pertama, terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Tidak terjangkaunya biaya pendidikan akan menyebabkan banyaknya generasi umat yang tidak gagal mengembangkan potensi dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh. Selain itu, masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Mereka dengan pendapatan menengah ke bawah akan putus sekolah di tingkat SD, SMP, atau paling tinggi SMU. Padahal sekolah dapat menjadi pintu perbaikan kompetensi masyarakat agar mereka mampu merancang perbaikan taraf hidupnya.
Kedua, langgengnya penjajahan Kapitalisme di Indonesia. Sebagaimana diketahui, kunci utama untuk keluar dari penjajahan dan menuju kebangkitan adalah peningkatan taraf berpikir umat. Pendidikan merupakan unsur penting dalam peningkatan taraf berpikir umat tersebut. Sumberdaya alam (SDA) yang melimpah di suatu negara menjadi tidak berfungsi optimal manakala tidak didukung dengan SDM yang terdidik. Kondisi SDA Indonesia saat ini mulai menciut. Jika ditambah dengan SDM yang tidak terdidik maka nasib Indonesia akan semakin tenggelam dalam cengkeraman negara-negara kapitalis dalam rentang waktu yang sangat panjang. Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) peserta didik serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada warganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan fasilitas sebaik mungkin (An Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 283-284).
Solusi Tanggung Jawab Negara Mengurusi Pendidikan Rakyat
Saat ini kondisinya sudah berubah bisa diterima di PTN kini bukanlah kebanggaan karena prestasi melainkan kemampuan baiay keuangan gak mampu dibayarkan oleh orang tua calon mahasiswa baru. Dulu PTN adalah harapan bagi lulusan SMA yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, kini biaya kuliah PTN makin tidak terjangkau karena sangat mahal, sejajar dengan PTS yang biaya penyelenggaraan pendidikannya ditanggung sendiri secara swadaya meliputi pengadaan sarana prsarana kampus sampai pembayaran gaji dosen. Perguruan Tinggi merupakan jembatan bagi lulusan SMA sebelum memasuki dunia kerja, banyak ilmu-ilmu praktis yang bisa dipraktikkan jika memang PTN butuh dana lebih besar dari subsidi yang diterima. Sudah saatnya pemerintah menetapkan standarisasi biaya masuk yang murah pendidikan di PTN sehingga masing-masing tidak mematok biaya menurut aturannya sendiri atau pemerintah mengratiskan biaya masuk PTN. Konsep pendidikan murah/gratis ini telah diterapkan oleh Khilafah Islam selama kurang lebih 1400 tahun, yaitu sejak Daulah didirikan di Madinah oleh Rasulullah saw. hingga Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh imperialis kafir pada tahun 1924 M. Selama kurun itu pendidikan Islam telah mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf internasional dalam berbagai bidang. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas (w. 798), Imam Syafii (w. 820), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855), dan Imam Bukhari (w. 870) sebagai ahli al-Quran, hadis, fikih, dan sejarah; Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur; al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi; al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika; ar-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia; Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik; Ibnu al-Bairar (al-Nabati) sebagai ahli pertanian khususnya botani, dan masih banyak lagi.
Dalam sistem Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Penguasa Islam, Khalifah, bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Setiap warga negara harus dijamin pemenuhan kebutuhan dasarnya oleh negara, termasuk dalam pendidikan. Hal ini disandarkan pada sabda Rasulullah saw.:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Darimana Khalifah mendapatkan sumber dana untuk menjalankan pendidikan gratis dan bermutu?
Sumber dana untuk pendidikan bisa diambil dari hasil-hasil kekayaan alam milik rakyat. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak adalah milik umum/rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, hutan dan energi. (HR Ibn Majah).
Khalifah bertugas untuk memenej pengeloaan sumberdaya alam tersebut dan mendistribusikannya kepada rakyat, misalnya untuk pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan sebagainya. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat.
Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai krisis yang membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya. Sungguh, hanya dengan syariah Islam dalam institusi Khilafah sajalah kita bisa meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tidak akan mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8).[]
begitulah, kan duitnya udah habis buat studi ke luar negeri….