Joseph Osdar
Toyako, Kompas – Para pemimpin negara industri maju yang tergabung dalam G-8 menyerukan peningkatan transparansi dan keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Hal ini dapat dimulai dengan meningkatkan dialog antara negara produsen dan negara pengonsumsi minyak mentah dunia.
“Untuk menjawab tantangan kenaikan harga minyak, kami sepakat untuk meningkatkan keseimbangan antara pasokan dan permintaan melalui upaya-upaya dialog, baik di antara produsen maupun dengan konsumen minyak. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan transparansi di pasar minyak,” demikian antara lain pernyataan bersama dari G-8 yang dikeluarkan di Toyako, Rabu (9/7).
Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda, saat memberikan keterangan pada hari terakhir pertemuan puncak G-8 selama tiga hari, menegaskan, negara-negara industri terkemuka ini siap menanggulangi kenaikan harga minyak dan pangan serta tekanan inflasi.
“Pada diskusi soal perekonomian dunia, kami menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi akan moderat, tetapi kami tetap berpikiran positif atas pertumbuhan di masa datang. Kami juga sepakat untuk mengendalikan tekanan inflasi, menstabilkan pasar finansial, dan melawan proteksionisme,” ujarnya.
Dalam pernyataan G-8 itu tidak disinggung masalah nilai tukar mata uang, di mana dollar AS terus melemah terhadap mata uang kuat lainnya.
Soal transparansi dari pasar komoditas, khususnya minyak, Pengawas Bursa Berjangka AS (CFTC) telah melakukan serangkaian penelitian mengenai beberapa transaksi berjangka minyak yang dianggap mencurigakan dan bernuansa spekulasi.
Di Roma, Menteri Ekonomi Italia Giulio Tremonti akan meminta rekannya di Uni Eropa untuk menggunakan Traktat Uni Eropa guna melawan kolusi pada pasar berjangka.
Sejauh ini, negara-negara Uni Eropa belum bersepakat mengenai bagaimana mengendalikan kenaikan harga minyak.
Tanggapan OPEC
Sementara itu, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengatakan, pasar minyak berada dalam keseimbangan yang cukup baik antara permintaan dan penawaran. Dia juga menyalahkan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh G-8 selama ini.
OPEC menegaskan ini menanggapi permintaan G-8 agar para produsen minyak menambah produksinya. Iran dan negara anggota OPEC lainnya berulang kali menyatakan tidak ada kekurangan pasokan minyak dan menyatakan bahwa faktor lain, termasuk ketegangan di Timur Tengah, menjadi penyebab kenaikan harga minyak.
“OPEC saat ini memproduksi 1,5 juta barrel per hari lebih dari yang diperlukan pasar,” kata Gubernur OPEC M Mohammad Ali Khatibi. Produksi OPEC saat ini sekitar 30 juta barrel per hari.
Khatibi mengatakan, negara G-8 menjalankan kebijakan berbeda, seperti mendukung sanksi terhadap Iran. Kebijakan yang, menurut para analis, menurunkan minat investor asing untuk berinvestasi pada sektor minyak di kawasan itu.
“G-8 sendiri merupakan alasan utama di balik tingginya harga minyak. Oleh sebab itulah terjadi ketidakseimbangan pada pasar minyak mentah,” ujar Khatibi.
Negara-negara anggota G-8, termasuk empat dari lima anggota Dewan Keamanan PBB, yaitu AS, Rusia, Perancis, dan Inggris, telah mendukung sanksi terhadap Iran karena program nuklirnya. China, anggota tetap kelima dewan, juga mendukung pengenaan sanksi itu.
Pengaruh suku bunga
Anggota Dewan Bank Sentral Eropa (ECB), Mario Draghi, mengemukakan, kebijakan moneter yang longgar antara lain menjadi pendorong kenaikan harga minyak. “Kondisi likuiditas global yang berlebihan berkontribusi terhadap kenaikan harga minyak. Bank-bank sentral juga telah memperburuk keadaan,” ujarnya.
Draghi mengatakan, studi ECB mengindikasikan bahwa penurunan tingkat suku bunga riil sejak akhir pertengahan tahun lalu telah menyebabkan kenaikan harga minyak sekitar 25 persen. Angka ini lebih tinggi karena sebelumnya diperkirakan hanya akan memengaruhi kenaikan harga sebesar 20 persen.
Bank sentral AS, The Federal Reserve, secara dramatis telah memangkas tingkat bunga untuk mengatasi krisis pasar perumahan pada Agustus tahun lalu.
Selain itu, bank sentral di negara-negara berkembang yang mata uangnya terkait dollar AS mengikuti langkah yang diambil oleh The Fed. Tindakan ini dilakukan negara berkembang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang cepat. (AP/AFP/joe)